Anggota Pengurus Dewan Pimpinan Wilayah Jawa Timur.
Generasi Muda Indonesia Cerdas Anti Korupsi.
Penulis : Muhammad.S (Bejjo).
Opini- Mengurai polemik pungutan liar (pungli) Sudut pandang hukum dalam menegakkan keadilan terhadap permasalahan pungli sekolah sangat penting untuk menjaga integritas pendidikan di Indonesia. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidikan memiliki tujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dalam konteks ini, pungli sekolah bertentangan dengan tujuan pendidikan yang seharusnya menciptakan generasi muda yang berakhlak mulia dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, penegakan hukum terhadap praktik pungli sekolah harus dilakukan secara tegas dan adil untuk menjaga keadilan dalam dunia pendidikan.
Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah untuk menangani permasalahan pungli sekolah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah telah menerbitkan Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2018 tentang Pencegahan dan Penanganan Pungutan Liar di Sekolah. Surat edaran ini memberikan pedoman bagi sekolah dalam mencegah dan menindak pungli sekolah.
Selain itu, pemerintah juga telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang ini memberikan landasan hukum yang kuat untuk menindak tegas pelaku pungli sekolah yang terbukti melakukan tindakan korupsi.
Namun, meskipun telah ada upaya dari pemerintah, penegakan hukum terhadap pungli sekolah masih memiliki beberapa tantangan. Salah satunya adalah minimnya kesadaran masyarakat akan pentingnya melaporkan praktik pungli yang mereka alami. Banyak korban pungli sekolah yang merasa takut atau tidak percaya bahwa laporan mereka akan ditindaklanjuti dengan serius oleh aparat hukum.
Selain itu, permasalahan lain adalah kurangnya bukti yang kuat untuk menjerat pelaku pungli sekolah. Praktik pungli seringkali dilakukan secara tersembunyi dan sulit terbukti secara langsung. Oleh karena itu, diperlukan kerjasama antara masyarakat, sekolah, dan aparat penegak hukum untuk mengumpulkan bukti yang cukup guna mengungkap praktik pungli yang terjadi di sekolah-sekolah.
Pemerintah juga perlu meningkatkan pengawasan terhadap sekolah-sekolah untuk mencegah terjadinya pungli. Pengawasan yang ketat harus dilakukan untuk memastikan bahwa biaya pendidikan yang dikenakan kepada siswa sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Selain itu, perlindungan dan pembelaan bagi para korban pungli sekolah juga harus diberikan agar mereka tidak menjadi korban kedua dalam proses penegakan hukum.
Dalam menegakkan keadilan, penegakan hukum terhadap pungli sekolah juga harus dilakukan secara adil. Tidak hanya pelaku pungli yang harus ditindak, tetapi juga pihak-pihak yang terlibat dalam praktik tersebut. Hal ini mencakup guru, kepala sekolah, atau bahkan pejabat di tingkat yang lebih tinggi yang turut memberikan dukungan atau melindungi praktik pungli.
Dalam rangka menegakkan keadilan, masyarakat juga memiliki peran penting. Kesadaran akan hak-hak mereka sebagai warga negara harus ditingkatkan agar mereka tidak menjadi korban praktik pungli sekolah. Masyarakat juga harus berani melaporkan praktik pungli yang mereka alami agar kasus-kasus ini dapat ditindaklanjuti dengan serius oleh aparat penegak hukum.
di sekolah telah menjadi permasalahan yang meresahkan masyarakat Indonesia. Fenomena ini terjadi ketika oknum-oknum tertentu di lingkungan sekolah melakukan pungutan liar terhadap siswa/orang tua siswa, atau bahkan pihak lain yang terkait dengan kegiatan pendidikan. Pungli sekolah tidak hanya merugikan masyarakat secara finansial, tapi juga merusak moralitas, integritas pendidikan di negara kita.
Pungutan liar di sekolah dapat mengambil berbagai bentuk, mulai dari pungutan uang untuk kegiatan ekstrakurikuler, biaya administrasi, hingga suap untuk memuluskan proses penerimaan siswa baru. Hal ini mencerminkan adanya praktik korupsi yang sudah merasuk ke dalam dunia pendidikan. Dalam konteks hukum, pungli sekolah merupakan tindakan melawan hukum yang dapat dikenakan sanksi pidana.
Pungli sekolah merupakan permasalahan serius yang harus segera ditangani dengan tegas dan adil. Sudut pandang hukum dalam menegakkan keadilan sangat penting untuk menjaga integritas pendidikan di Indonesia. Diperlukan upaya bersama antara pemerintah, masyarakat, sekolah, dan aparat penegak hukum untuk memberantas praktik pungli sekolah. Hanya dengan penegakan hukum yang tegas dan adil, kita dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang bebas dari pungli dan menjaga masa depan generasi muda Indonesia.
Pungutan liar (pungli) di sekolah merupakan praktik korupsi yang merugikan dan merusak sistem pendidikan di Indonesia. Praktik ini telah menjadi permasalahan serius yang mempengaruhi kualitas pendidikan, integritas siswa, dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pendidikan. Oleh karena itu, mari bersatu dalam melawan praktik korupsi ini demi masa depan pendidikan yang lebih baik.
Pungli di sekolah dapat terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari pungutan uang tidak resmi untuk memuluskan administrasi, pembelian buku pelajaran, hingga pengadaan sarana dan prasarana.
Praktik ini tidak hanya dilakukan oleh oknum guru atau staf sekolah, tetapi juga melibatkan orang tua siswa. Pungli di sekolah mencerminkan adanya ketidakadilan dalam sistem pendidikan, di mana akses pendidikan berkualitas seharusnya didapatkan tanpa harus membayar tambahan biaya yang tidak seharusnya.
Dampak negatif pungli di sekolah sangat besar:
Pertama, pungli menghambat akses pendidikan bagi siswa dari keluarga kurang mampu. Biaya tambahan yang harus dikeluarkan untuk pungli dapat menjadi beban yang berat bagi keluarga dengan ekonomi rendah. Hal ini menyebabkan banyak anak terpaksa putus sekolah atau tidak mendapatkan hak pendidikan mereka secara penuh.
Kedua, pungli merusak integritas siswa. Ketika siswa diperintahkan untuk memberikan uang atau barang kepada guru atau staf sekolah, mereka dihadapkan pada situasi yang membingungkan dan menimbulkan ketidakadilan. Siswa yang tidak mampu atau enggan memberikan pungli seringkali diabaikan atau diberikan perlakuan yang tidak adil. Hal ini dapat mengurangi motivasi belajar siswa dan merusak moralitas mereka.
Ketiga, pungli dibiarkan dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap Hukum dan lembaga pendidikan. Masyarakat memiliki harapan besar terhadap pendidikan sebagai sarana untuk menciptakan generasi muda yang cerdas, berkualitas, dan berintegritas. Namun, ketika praktik korupsi seperti pungli terjadi di sekolah-sekolah, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pendidikan menjadi rusak. Hal ini dapat berdampak negatif terhadap partisipasi masyarakat dalam mendukung program-program pendidikan dan memperburuk kualitas pendidikan secara keseluruhan.
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk memberantas pungli di sekolah. Program-program seperti Gerakan Nasional Anti-Pungutan Liar (GNAPL) dan Gerakan Indonesia Bersih dari Korupsi (GIBK) telah diluncurkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya pungli dan mengajak semua pihak untuk bersama-sama melawan praktik ini. Selain itu, pemerintah juga telah mengeluarkan regulasi yang mengatur sanksi bagi pelaku pungli di sekolah.
Namun, upaya ini masih belum cukup untuk mengatasi masalah pungli di sekolah secara menyeluruh. Diperlukan kerjasama dari semua pihak, termasuk guru, staf sekolah, orang tua siswa, dan masyarakat secara keseluruhan untuk melawan praktik korupsi ini.
Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil untuk mengatasi pungli di sekolah:
1. Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana pendidikan. Sekolah harus memberikan laporan keuangan yang jelas dan terbuka kepada masyarakat, sehingga semua pengeluaran dapat dipertanggungjawabkan dengan baik.
2. Mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam mengawasi penggunaan dana pendidikan. Orang tua siswa dan kelompok masyarakat setempat perlu terlibat dalam pemantauan dan pengawasan penggunaan dana pendidikan agar terhindar dari praktik pungli.
3. Membuat sistem pengaduan yang efektif. Sekolah harus menyediakan saluran pengaduan yang aman dan terbuka bagi siswa, orang tua, dan masyarakat untuk melaporkan praktik pungli yang terjadi. Pengaduan tersebut harus ditindaklanjuti dengan serius dan pelaku pungli harus diberikan sanksi yang tegas.
4. Meningkatkan pelatihan dan pendidikan anti-korupsi. Guru dan staf sekolah perlu diberikan pelatihan tentang pentingnya integritas dan etika dalam menjalankan tugas mereka. Selain itu, siswa juga perlu diberikan pendidikan tentang bahaya pungli dan pentingnya menolak praktik korupsi.
5. Melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat dan media massa dalam kampanye anti-pungli.Lembaga Swadaya Masyarakat dan Media massa memiliki peran penting dalam menyebarkan informasi dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya pungli di sekolah. Melalui investigasi dan liputan yang intensif dan berimbang, masyarakat dapat lebih memahami dampak negatif pungli dan semakin mendukung upaya pemberantasan praktik ini.
Dalam mengatasi pungli di sekolah, diperlukan komitmen dan kerjasama semua pihak. Pemerintah, sekolah, guru, staf sekolah, orang tua siswa, dan masyarakat harus bersatu dan melawan praktik korupsi ini demi menciptakan pendidikan yang berkualitas, adil, dan bermartabat.
Mari kita bersama-sama menjaga masa depan pendidikan Indonesia dari praktik korupsi dan memastikan hak pendidikan setiap anak terpenuhi tanpa diskriminasi.
Fungsi sekolah dapat dilihat dari berbagai aspek. Dilihat dari aspek sosiologis, fungsi sekolah adalah lembaga pendidikan yang menempatkan guru sebagai pendidik menggantikan peran orang tua sebagai pendidik sejati. Hal ini merupakan konsekuensi kesibukan orangtua terhadap pekerjaan dan kegiatan masing-masing. Guru sebagai pendidik utama dituntut untuk memiliki profesionalisme dalam melakukan tugas pokoknya yaitu mendidik, mengajar dan membimbing peserta didik.
Dari aspek psikologis, fungsi sekolah adalah lembaga pendidikan formal yang mengajari, mengelola dan mendidik peserta didik agar memiliki kepribadian dan tingkah laku yang baik melalui bimbingan yang diberikan sebagai bekal untuk menjadi makhluk sosial dan memecahkan berbagai problematika sosial kelak. Lembaga pendidikan formal dilengkapi sarana dan prasarana yang menunjang proses pendidikan seperti ruang belajar, perpustakaan, sarana olahraga, perkantoran dan laboratorium.
Dari aspek pelayanan publik, fungsi sekolah adalah tempat memberikan pelayanan akademik kepada para peserta didik. Pelayanan yang diberikan dalam bentuk pemberian pendidikan, pengajaran dan pembimbingan. Pelayanan pendidikan terkait dengan aspek sifat dan tingkah laku yang baik sebagai pelajar, lalu pelayanan pengajaran terkait dengan pemberian ilmu pengetahuan sesuai dengan kurikulum yang berlaku, dan pelayanan pembimbingan terkait dengan keterampilan teknis dan psikologis tertentu.
Fungsi sekolah menurut M Santoso (Bejjo⁶
Ada empat yakni : pertama, memberi layanan kepada peserta didik agar mampu memperoleh pengetahuan atau kemampuan-kemampuan akademik yang dibutuhkan dalam kehidupan. Kedua, memberi layanan kepada peserta didik agar dapat mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan. Ketiga, memberikan layanan kepada peserta didik agar dapat hidup bersama ataupun bekerja sama dengan orang lain. Keempat, memberi layanan kepada peserta didik agar dapat mewujudkan cita-cia atau mengaktualisasikan dirinya sendiri.
Pelayanan Peserta Didik
Dalam konteks pelayanan publik ada dua pihak yang berperan yakni pelaksana layanan dan penerima layanan. Dalam kaitan pelayanan publik di sekolah, pelaksana layanan adalah manajemen sekolah meliputi tenaga pendidik (guru) dan tenaga kependidikan (tata usaha) sedangkan penerima layanan adalah peserta didik (siswa).
Pendidikan adalah salah satu ruang lingkup pelayanan publik sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang No. 25/2009. Karena itu guru sebagai tenaga pendidik dan tenaga kependidikan mengemban tugas sebagai pelayan publik di lembaga pendidikan (sekolah dengan berbagai tingkatan). Keberadaan guru sendiri adalah pemberi jasa publik kepada peserta didik. Pengertian Guru dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, adalah tenaga pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
Terdapat dua jenis layanan di sekolah kepada peserta didik yakni pelayanan akademik dan pelayanan non akademik. Pelayanan akademik adalah pelayanan yang terkait pendidikan, pengajaran dan pembimbingan di sekolah yang bisa disebut pelayanan primer, sedangkan pelayanan non akademik adalah layanan yang menunjang proses akademik di sekolah seperti layanan perpustakaan, dan layanan laboratorium yang bisa disebut layanan sekunder, sedangkan layanan kantin, layanan kesehatan (UKS), layanan transportasi sekolah, layanan asrama, dan layanan koperasi bisa disebutkan layanan tersier.
Bentuk-bentuk Pungutan Di Sekolah
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah mengeluarkan peraturan yang mengatur tentang pungutan di sekolah melalui Peraturan Mendikbud No. 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan pada Satuan Pendidikan Dasar. Dalam peraturan tersebut dibedakan antara pungutan, sumbangan, pendanaan pendidikan dan biaya pendidikan.
Pengertian Pungutan dalam peraturan tersebut adalah penerimaan biaya pendidikan baik berupa uang dan/atau barang/jasa pada satuan pendidikan dasar yang berasal dari peserta didik atau orangtua/wali secara langsung yang bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya ditentukan oleh satuan pendidikan dasar. Sedang pengertian Sumbangan adalah penerimaan biaya pendidikan baik berupa uang dan/atau barang/jasa yang diberikan oleh peserta didik, orangtua/wali, perseorang atau lembaga lainnya kepada satuan pendidikan dasar yang bersifat sukarela, tidak memaksa, tidak mengikat, dan tidak ditentukan oleh satuan pendidikan dasar baik jumlah maupun jangka waktu pemberiannya.
Dari dua pengertian diatas, secara jelas dibedakan Pungutan bersifat wajib dan mengikat, sementara Sumbangan bersifat sukarela dan tidak mengikat. Demikian pula Pungutan diperbolehkan asal memenuhi ketentuan pada Pasal 8 dan larangan dilakukan Pungutan jika tidak sesuai pada Pasal 11 pada Permendikbud No. 44/2012. Karena pada dasarnya Pungutan dan Sumbangan dari masyarakat pengejawantahan tanggung jawab pada pendidikan selain tanggungjawab pemerintah (pemerintah pusat dan daerah).
Pembatasan pungutan pada lingkungan sekolah karena satuan pendidikan tingkat dasar sudah mendapatkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Besar dana BOS peserta didik tingkat SD sebesar Rp 800.000/siswa/tahun, pada tingkat SMP sebesar Rp 1.000.000/siswa/tahun, sedangkan pada tingkat SMA sebesar Rp 1.400.000/siswa/tahun yang disalurkan setiap tiga bulan yakni periode Januari-Maret, April-Juni, Juli-September dan Oktober-Desember.
Ada 13 komponen yang dibiayai oleh dana BOS yakni: pengembangan perpustakaan; kegiatan penerimaan peserta didik baru; pembelajaran dan ekstrakurikuler; ulangan dan ujian; pembelian bahan habis pakai; langganan daya dan jasa; perawatan/rehab dan sanitasi; pembayaran honor bulanan; pengembangan profesi guru dan tenaga kependidikan; membantu siswa miskin; pengelolaan sekolah; pembelian dan perawatan komputer; dan biaya lainnya. Biaya lainnya yang dimaksud misalnya pembelian peralatan UKS dan darurat bencana.
Batas-batas penggalangan dana yang boleh dilakukan Komite Sekolah diatur dalam Peraturan Mendikbud No. 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah. Pada Pasal 10 ayat (2) penggalangan dana dan sumber daya pendidikan berbentuk bantuan dan/atau sumbangan, bukan pungutan. Jadi bantuan dan/atau sumbangan yang digalang Komite Sekolah untuk mendukung peningkatan mutu layanan pendidikan di sekolah dengan azas gotong royong sesuai fungsi Komite Sekolah dalam memberikan dukungan tenaga, sarana dan prasarana serta pengawasan pendidikan. Bantuan pendidikan yang dimaksud dalam Peraturan Mendikbud No. 75/2016 adalah pemberian berupa uang/barang/jasa oleh pemangku kepentingan satuan pendidikan di luar peserta didik atau orangtua/walinya, dengan syarat disekapati para pihak.
Ada beberapa bentuk-bentuk pungutan di sekolah, baik pungutan resmi maupun pungutan liar. Pungutan resmi adalah pungutan yang memiliki dasar hukum dan tidak melanggar peraturan yang ada, sementara pungutan liar (pungli) adalah pungutan yang tidak memiliki dasar hukum meski telah didahului dengan kesepakatan para pemangku kepentingan. Karena pada dasarnya kejahatan juga bisa dilakukan melalui sebuah kesepakatan dan pemufakatan (pemufakatan jahat).
Beberapa pungutan dilakukan sejak tahap pendaftaran masuk sekolah, kegiatan belajar mengajar hingga lulus sekolah. Pungutan yang sering dilakukan saat di sekolah :
Pemberantasan Pungli Di Sekolah.
Selain sumbangan dan bantuan pendidikan, pungutan di sekolah yang tidak memiliki dasar hukum akan dipantau oleh Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli). Satgas Saber Pungli dibentuk pada 20 Oktober 2016 ketika Presiden Jokowi menandatangani Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar.
Tugas utama Satgas Saber Pungli adalah melakukan pemberantaran pungutan liar secara efektif dan efisien dengan mengoptimalkan pemanfaatan personil, satuan kerja dan sarana prasarana yang ada di Kementerian/lembaga maupun di pemerintah daerah. Sedang kewenangan Satgas Saber Pungli adalah: (a) Membangun sistem pencegahan dan pemberantasan pungutan liar; (b) Melakukan pengumpulan data dan informasi dari kementerian/lembaga dan pihak lain yang terkait dengan menggunakan teknologi informasi; (c) Mengoordinasikan, merencanakan, dan melaksanakan operasi pemberantasan pungutan liar; (d) Melakukan operasi tangkap tangan; (e) Memberikan rekomendasi kepada pimpinan kementerian/lembaga, serta kepala pemerintah daerah untuk memberikan sanksi kepada pelaku pungli sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (f) Memberikan rekomendasi pembentukan dan pelaksanaan tugas lain unit Saber Pungli di setiap instansi penyelenggara pelayaan publik kepada pimpinan kementerian/lembaga dan kepala pemerintah daerah; dan (g) Melakukan evaluasi pemberantasan pungutan liar.
Hukuman pidana bagi pelaku pungli bisa dijerat dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Pidana Korupsi, khususnya Pasal 12 E dengan ancaman hukuman penjara minimal empat tahun dan maksimal 20 tahun. Pelaku pungli juga bisa dijerat dengan Pasal 368 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal sembilan bulan. Pelaku pungli berstatus PNS dengan dijerat dengan Pasal 423 KUHP dengan ancaman maksimal enam tahun penjara.
Sedangkan hukuman administratif bagi pelaku pelanggaran maladministrasi termasuk bagi pelaku pungli bisa dikenakan Pasal 54 hingga Pasal 58 dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Sanksi administratif berupa teguran lisan, teguran tertulis, penurunan pangkat, penurunan gaji berkala, hingga pelepasan dari jabatan.
Pemberantasan pungli di sekolah dapat dilakukan dengan dua cara yakni pencegahan dan penindakan. Pencegahan dapat dilakukan dengan menempuh berbagai cara seperti melakukan sosialisasi praktik-praktik pungli di sekolah dan upaya pencegahannya, menegakkan norma-norma kesusilaan di sekolah, mempraktikkan tata kelola sekolah berintegritas, menghindari penyimpangan anggaran, dan mengupayakan transparansi pengelolaan anggaran sekolah. Sedangkan Penindakan dilakukan dengan cara menjerat para pelaku pungli sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kanal pelaporan pungutan liar tersedia pada berbagai instansi. Untuk pelaporan pungli dibidang pendidikan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyediakan kanal: laporpungli.kemdikbud.go.id. Lalu Tim Saber Pungli menyediakan kanal: lapor@saberpungli.id
Call Center 0821 1213 1323, SMS 1193.
Kanal pengaduan Ombudsman RI pada: pengaduan@ombudsman.go.id, Call Center 082137373737, dan SMS Center 137. (Red).