Oleh: Andre Vincent Wenas
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta
Senin, 02/05/2022
Aneh itu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya tidak seperti yang biasa kita lihat (dengar dan sebagainya); ajaib; ganjil. Keanehan adalah hal (keadaan, sifat, sesuatu) yang aneh, artinya tidak seperti yang biasa kita lihat, dengar atau alami.
Perilaku politik (political behavior) Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang akhir-akhir ini jadi sorotan publik mungkin juga lantaran kelihatan aneh.
Mulai dari inisiatif interpelasi di parlemen Jakarta misalnya, dimana arus besar (mayoritas fraksi/parpol) lain menolak sementara PSI (yang akhirnya diikuti PDIP) tetap bersikukuh untuk melaksanakannya.
Kritik PSI, yang terarah pada kebijakan pemda maupun pemerintah pusat kerap dianggap “melawan arus”. Dan lantaran itu oleh sementara kalangan dianggap “bikin gaduh” dan aneh.
Barusan terjadi adalah soal “pamitnya” Tsamara Amany. Lalu diikuti isu oto-kritik Anggara Wicitra Sastroamidjojo (Bro Ara) yang Ketua Fraksi PSI di DPRD DKI Jakarta. Bro Ara mengritik Dewan Pimpinan Pusat (DPP) partainya sendiri, terkait strategi komunikasi politik.
Menyikapi anggapan “bikin gaduh” seperti itu, jadi menarik tanggapan Raja Juli Antoni, PhD. (Bro Toni) yang Sekretaris Dewan Pembina (Sekwanbin) PSI. Ia justru mengakui bahwa PSI memanglah partai yang aneh!
“PSI memang partai aneh. Ada pengurusnya yang keluar, Sis
Tsamara, pamitnya kok baik-baik. Buat video “perpisahan” merangkum kenangannya selama di PSI yang membuat mewek dirinya dan banyak kader PSI. Mestinya barantem dong! Tidak mengikuti tradisi partai-partai lama. Ini yang gagal dipahami Fahri Hamzah yang keluar partai karena berantem. Eh, malah ngotot bilang PSI didirikan bukan untuk jangka panjang. Ya sudahlah. Kita doakan Bang Fahri panjang umur, bisa lihat panjang umur perjuangan PSI.” Begitu ujar Bro Toni.
Ya, perilaku politik PSI ini memang tampak aneh jika diperhadapkan dengan kebiasaan (tradisi) parpol-parpol tua di negeri ini. Aneh, lantaran diluar kebiasaan, diluar pakem “tradisi praktek politik” parpol lain yang lebih senior.
Saat menanggapi “oto-kritik” dari Bro Ara yang nota-bene adalah kader partainya sendiri, Bro Toni merespon, "Tidak ada yang aneh. Debat dan kritik adalah ciri khas PSI yang dibangun berdasarkan prinsip demokratis dan egalitarianisme. Jadi saran, kritik dan berdebat keras hal biasa di PSI. Justru aneh kalau hal seperti itu tidak terjadi di PSI."
Lanjutnya, "Dinamika harian di PSI ya begitu itu. Habis lebaran, ketemu dan ngobrol pasti clear, itu cuman beda selera kader PSI dalam komunikasi dan artikulasi gagasan di ruang publik. Prinsip dan substansinya sama. PSI memperjuangkan politik kesejahteraan, politik bersih dan politik keadilan. Silakan cek, semua pasti bekerja untuk tiga prinsip di atas.”
Malah Sekwanbin PSI itu yakin bahwa, “Diskusi itu pulalah yang membuat PSI menjadi daya tarik dan pemikat di tengah masyarakat. PSI semakin kuat. Jaringan PSI semakin kokoh dari Sabang sampai Merauke."
Intinya, Sekwanbin PSI Raja Juli Antoni, PhD itu ingin menegaskan bahwa partainya selalu terbuka dengan diskusi antar kader. Tak jadi soal ada beda pendapat antara kader satu dengan lainnya. Justru diskusi cerdas (kadang keras tapi tidak kasar) dalam dinamika organisasi seperti itulah yang membuat PSI memiliki daya tarik dan jadi pemikat di tengah masyarakat. Bahkan dia menyakini, dengan adanya diskusi terbuka dan sehat, itu justru menunjukkan soliditas partainya.
Memang bisa kita pahami kalau perilaku politik PSI yang seperti itu membuat sementara publik rada bingung. Lantaran fenomena demikian tidaklah lazim (alias aneh) dalam tradisi manajemen parpol di Indonesia selama ini.
Prinsipnya, kalau mau mengritik ya mesti berani pula untuk dikritik? Itulah konsekuensi dari dialektika yang sehat. Yang penting adalah menjaga substansi kritiknya agar tetap argumentatif alias logis. Karena hanya lewat jalan itulah sintesa yang progresif bisa dilahirkan, dan bakal membawa pembaharuan serta kemajuan.
Tak ada soal dalam beda pendapat, tinggal saja perbedaan pendapat itu masuk dalam kancah dialektika (tesis versus anti-tesis) yang terbuka dan mencerdaskan. Nothing personal, no hard-feeling.
Adu argumentasi itu bukanlah saling-sikut dan saling-sikat secara fisik, maupun menyerang pribadi (ad hominem). Misalnya seperti yang dialami Ade Armando belum lama ini, dimana ia jadi korban kebiadaban kaum otak tumpul dan berhati beku.
Jadi kita melihat, perbedaan pendapat antar kader parpol itu adalah hal yang biasa saja. Tak usah emosian lalu pakai berantem segala. Kalau begitu terus ya kapan dewasanya politisi bangsa ini? Janganlah kita mengulang-ulang kelakuan politisi tua yang baperan itu.
Kancah perpolitikan bangsa mesti diperbaharui. Dan pemicu pembaharuan itu kerap kali adalah “pendapat-pendapat yang dianggap aneh” oleh jamannya.
“Do not fear to be eccentric in opinion, for every opinion now accepted was once eccentric.” Kata Bertrand Russell. Janganlah takut dianggap aneh dalam berpendapat, lantaran setiap pendapat yang kini diterima dulu pernah dianggap aneh.
PSI memang partai politik yang aneh!