Oleh: Henri Samosir (Wakil Ketua LBH-PRN, Paralegal & Jurnalis)
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan nomor 75 tahun 2016, diuraikan 3 jenis penggalangan dana yakni, BANTUAN, SUMBANGAN dan PUNGUTAN.
Beberapa hal yang membedakan ketiga pungutan ini antara lain; sumber dan sifat wajib atau tidaknya. Berikut uraian lebih jelasnya;
BANTUAN adalah penggalangan dana yang bersumber dari LUAR wali siswa/murid.
SUMBANGAN penggalangan dana yang berasal dari orang tua wali, Masyarakat dan Lembaga, sifatnya sukarela dan tidak mengikat. (Pasal 1 angka (5)).
PUNGUTAN Pendidikan, yang selanjutnya disebut dengan PUNGUTAN adalah penarikan uang oleh Sekolah kepada peserta didik, orangtua/walinya yang bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya ditentukan. (pasal 1 angka (4)).
Dari 3 jenis penggalangan dana ini, PUNGUTan adalah jenis penggalangan dana yang diharamkan di lingkungan Sekolah.
Meski demikian teori tidak selalu berbanding lurus fakta di lapangan. Sekolah-sekolah masih kerap menggalang dana dari wali murid dengan kategori pungutan.
Bentuknya bisa berbagai macam. Ada infaq yang tentukan nominalnya. Sodaqoh yang wajibkan. Partisipasi siswa baru atau semacam uang pangkal bagi siswa baru. Studi tour, Dies natalis, Uang sampul ijazah dan masih banyak lagi.
Tidak jarang pihak sekolah mengantisipasi permasalahan hukum yang mungkin muncul dengan membuat surat pernyataan dari wali murid. Surat ini semacam sebuah kesepakatan yang tidak memaksa antara sekolah dan orang tua.
Tanpa musyawarah, draft penyataan biasanya telah disiapkan. Materai bahkan diminta untuk dibawa oleh setiap wali murid.
Pertanyaannya, dapatkah Dapatkah Persetujuan Wali Murid/Siswa Menjadi Dasar Melakukan Pungutan di Sekolah?
Secara hukum, hal ini harus ditinjau berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata. Ada 4 syarat yang harus dipenuhi dalam menentukan sah tidaknya sebuah perjanjian, yakni:
1. Kesepakatan
2. Para pihak yang membuat perjanjian
3. Objek tertentu, dan
4. Kausa atau sebab yang halal.
Dari ke empat yang menjadi sorotan yuridis adalah poin ke-4, Kausa atau sebab yang halal.
‘Sebab/kausa yang halal’, yakni perlakuan atau perbuatan atau tindakan yang tidak dilarang oleh hukum.
Hukum dalam arti luas yakni hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Akan tetapi, jika merunut sistem hukum Indonesia lebih mengadopsi paham positivistik yakni kepastian hukum melalui sumber utamanya adalah hukum tertulis yang berarti peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan penjelasan di atas, pihak penyelenggara Pendidikan yang melakukan pungutan terhadap orangtua/wali peserta didik atas dasar kesepakatan merupakan batal demi hukum (null and void), karena kewenangan untuk melakukan pungutan kepada orangtua/wali siswa telah secara limitatif “dilarang” sebagaimana ketentuan Pasal 10 ayat (2) Permendikbud No 75 Tahun 2016.
Sebagaimana prinsip negara hukum dan asas legalitas bahwa kewenangan melakukan tindakan hukum tersebut harus didasarkan atas undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang berlaku mengikat, bukan didasarkan atas kehendak masing-masing para pihak.
Dengan demikian, kewenangan pihak penyelenggara Pendidikan melakukan pungutan tersebut tidak sah menurut hukum, karena perjanjian atau kesepakatan tersebut bertentangan dengan aturan hukum yakni Pasal 10 ayat (2) Permendikbud
No 75 Tahun 2016
Jika penggalangan dana oleh sekolah merupakan sebuah kewajiban, nominalnya telah ditentukan dan sifatnya rutin, maka hal tersebut terkategori sebagai PUNGUTAN yang dilarang dalam Permendikbud 75 tahun 2016.
Meskipun telah disertai dengan surat pernyataan dari wali murid dengan bubuhan materai, maka hal tersebut batal demi hukum (Neitigbaar/Null and void). Tidak berlaku demi hukum.